Hati Yang Ikhlas |
Pertama: Menyembunyikan Amalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”
Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Ibnul
Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri
(sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan
popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan
bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan
kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr
Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita
menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil).
Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Imam
Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki
amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang
mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia
akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”
:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::
Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah
Ar
Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak pernah mengerjakan
shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.
Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam
Ayub
As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu
berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia
pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu.
Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seseorang
yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya
tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”
Permisalan
sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam
hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena
kedekatan dan kebersamaan kedua tangan tersebut.
Contoh yang
mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau
biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi
roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau
mengatakan,
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ
“Sesungguhnya
sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa
jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi
mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah
tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali
bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang
dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita
mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini
lagi.
Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.
Dalam
rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias
agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan
untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala
itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”
Daud
bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang,
termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual
sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan
pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya.
Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka
dan makan malam bersama keluarganya.
Jadi orang-orang di pasar
mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang
berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar.
Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.
Begitu
pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir
orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak
makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak
mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.
Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.
Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang
yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang
terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an
sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.”
Setelah
menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini
bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada
mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari
sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.
Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari
ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah
terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
Yang
dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya
agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim
selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang
akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan
menutupi Qur’annya dengan bajunya.
Begitu pula halnya dengan
Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk
menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya.
Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.
Keenam: Menyembunyikan tangisan
Sufyan
Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan
bagian biasanya untuk selain Allah (tidak ikhlas) dan satu bagian saja
yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam
sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”[14]
Dalam
rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura
mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam
riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura
mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.”
Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan
tangisannya.[15]
Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura
tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib
ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun
pura-pura menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan
sambil tersenyum.[16]
Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]
Ketujuh: Menyembunyikan do’a
‘Uqbah
bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi
lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang
melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara
sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada
malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]
Wallahu'alam Bishawab.
0 comments:
Post a Comment