“Dahulu aku pernah
melarang kalian untuk Ziarah kubur, sekarang Ziarahilah kubur, karena
ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingat
akhirat, dan janganlah kalian mengucapkan kata- kata kotor (di
dalamnya)”.
HR. Al- Hakim (1/ 376) dari Shahabat Anas bin
Malik Radhiallohu 'Anhu dengan sanad yang Hasan. Lihat keterangan lebih
lengkap dalam Ahkaamul Janaa-iz Wa Bidaa’uha (Hal. 227- 229) oleh Syaikh
al- Albani Rahimahullah.
“Sesungguhnya dulu aku telah
melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur,
sesungguhnya pada ziarah kubur itu ada pelajaran (bagi yang hidup)”.
HR. Ahmad (III/ 38), al- Hakim (I/ 374- 375), dan al- Baihaqy (IV/
77). Al- Hakim berkata, “Hadits Shahih sesuai dengan Syarat Muslim”, dan
disepakati oleh adz- Dzahabi.
Mengenai perbuatan yang
dilakukan orang di kuburan, dan ketika ziarah kubur ada tiga (3) macam
(Mujmal Ushuul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Fil Aqiidah, Hal. 16):
1. Ziarah yang disyari’atkan, yaitu Ziarah kubur dengan tujuan mengingat
mati, akhirat, untuk memberikan Salam kepada ahli kubur, dan mendo’akan
mereka atau memohonkan ampun untuk mereka. (# Peringatan: Tidak boleh
memohonkan ampunan untuk orang Kafir, meskipun orang tua sendiri/
kerabat. Lihat dalilnya di QS. At- Taubah: 113)
2. Ziarah yang
Diada- adakan (Bid’ah), tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid. Ini
merupakan salah satu sarana perbuatan Syirik, di antaranya adalah ziarah
ke kuburan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan
diri kepada- Nya di sisi kuburan., atau bertujuan untuk mendapatkan
berkah, menghadiahkan pahala kepada ahli kubur, membuat bangunan di atas
kuburan, mengecat, menembok, memberinya lampu penerang serta menulis
nama di atas papan nisan.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam melarang untuk menembok
kuburan, duduk- duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya (atau
ditambah tanahnya) (atau ditulis atasnya- ditulis nama pada nisannya).
HR. Muslim (No. 970 (94)), Abu Dawud (No. 3225), at- Tirmidzi (No.
1052), an- Nasa-i (IV/ 86), Ahmad (III/ 339, 399), al- Hakim (I/ 370),
al- Baihaqy (IV/ 4) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdullah Radhiallohu
'Anhuma. Tambahan pertama dalam kurung diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
an- Nasa-i, tambahan kedua dalam kurung diriwayatkan oleh at- Tirmidzi
dan al- Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh at- Tirmidzi dan al- Hakim.
Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 260).
Juga termasuk perbuatan
bid’ah bila menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan sengaja
bepergian jauh untuk mengunjunginya. (Tentang masalah ini lebih lengkap
dapat dilihat dalam Kitab Ahkaamul Janaa-iz wa Bida’uha Hal. 259- 294
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albani Rahimahullah, Fathul Majiid
Syarah Kitaabit Tauhiid oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh).
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda tentang larangan
untuk mengadakan perjalanan dengan tujuan ibadah ke tempat- tempat
selain dari tiga (3) tempat:
“Tidak boleh mengadakan Safar/
perjalanan (dengan tujuan beribadah) kecuali ke tiga masjid, yaitu:
Masjidil Haram, dan Masjidku ini (Masjid Nabawi) Serta Masjid al-
Aqsha”.
HR. Al- Bukhari (No. 1197, 1864, 1995), Muslim (No.
827), dan yang lainnya dari Shahabat Abu Sa’id al- Khudri Radhiallohu
'Anhu. Terdapat juga di Shahiih al- Bukhari (No. 1189), Muslim (No.
1397), dan yang lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiallohu 'Anhu.
Hadits ini Shahih, Diriwayatkan dari beberapa Shahabat yang derajatnya
Mutawatir, Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/ 226 No. 773).
3. Ziarah
Kubur yang Syirik, yaitu Ziarah yang bertentangan dengan tauhid,
misalnya mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli kubur, seperti
berdo’a kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan
pertolongannya, berthowaf di sekelilingnya, menyembelih kurban, dan
bernadzar untuknya dan lain sebagainya.
Seorang mukmin tidak
boleh memalingkan ibadahnya kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
perbuatan ini adalah Syirkun Akbar dan mengeluarkan seseorang dari Islam
bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalangnya. Seluruh
ibadah harus kita lakukan hanya kepada Allah Saja dengan ikhlas tidak
boleh menjadikan kubur sebagai perantara menuju kepada Allah, karena ini
adalah perbuatan orang Kafir Jahiliyah. (# Orang- orang Kafir
menjadikan berhala sebagai perantara kepada Allah, lihat QS. Az- Zumar:
3).
Sesuatu yang menjadi Wasaa-il (Sarana) dihukumi berdasarkan
tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju Syirik
dalam ibadah kepada Allah atau menjadi Sarana menuju bid’ah, maka wajib
dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (Dalam Agama, yang tidak
ada dasarnya, tidak ada contohnya dari Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wa
Sallam dan Para Shahabatnya) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan.
Di muka bumi ini, tidak ada satu pun Kuburan yang
mengandung berkah sehingga sia- sia orang yang sengaja ziarah menuju
kesana untuk mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja
mengadakan safar (perjalanan) siarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-
kubur tertentu, seperti kuburan Wali, Kyai, Habib, dan lainnya dengan
niat (tujuan) mencari keramat dan berkah serta mengadakan ibadah di
sana. Hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan di dalam Islam, karena
perbuatan ini adalah bid’ah merupakan sarana yang menjurus kepada
kemusyrikan. Wallohu a’lam.
Sumber: Syarah Aqidah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah: Bab. 53: Ziarah Kubur. Hal. 439- 442. Ust. Yazid bin Abdul
Qadir Jawas. Pustaka Imam Asy- Syafi’i. Jakarta.
(2). Ziarah Kubur Yang Disyari’atkan Oleh Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam.
Ziarah Kubur yang diSyari’atkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa
Sallam kepada ummatnya meliputi: Pergi Ke Kuburan, membaca Salam kepada
Ahli Kubur, dan mendo’akan mereka. Ziarah ini sama kedudukannya dengan
Sholat Jenazah. Orang yang melakukan Sholat Jenazah pun bermaksud untuk
mendo’akan mayit agar memperoleh Rahmat dan ampunan Alloh., dan ia
mendapatkan pahala atas kebaikannya terhadap mayyit atau ahli kubur.
Adab- adab dan tatacara Ziarah kubur yang disyari’atkan di antaranya:
Peziarah disunnahkan keluar rumah menuju pekuburan dengan niat Ikhlas
karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala, tunduk hati dan merasa diawasi oleh
Allah Azza Wa Jalla. Ia mengambil pelajaran dari orang- orang yang telah
terlebih dahulu meninggal. Dengan demikian maka bacaan salam dan
do’anya bagi mayyit untuk mendapatkan rahmat dan ampunan akan bermanfaat
(bagi mayyit tersebut). Disunnahkan pula untuk tidak mengeraskan suara
di kuburan, tidak banyak berkata- kata mengenai urusan dunia dan
berbagai kesibukannya.
Begitu tiba di pekuburan, bersegeralah
mengucapkan Salam kepada penghuninya dengan ucapan Salam yang diajarkan
dalam hadits- hadits Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam yang
Shahih, di antaranya:
Diriwayatkan dari Buraidah Radhiallohu 'Anhu,
السلام عليكم آهل الديار من المؤمنين والمسلمين
وانا ان شْآ الله بكم لاحقون –
نسأل الله لنا ولكم العافية
“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin
dan muslimin. Sesungguhnya kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kami
memohon kepada Allah agar menyelamatkan kami dan kalian”.
HR. Muslim, Kitab al- Janaa-iz (35), Bab Maa Yuqaalu ‘inda Dukhuu-lil
Qubuur Wad Du’aa-i li Ahlihaa (II/ 61, No. 975), Ahmad dalam al- Musnad
(V/ 353, 359).
Atau dari jalur yang lain,
Riwayat Ibnu ‘Abbas Radhiallohu 'Anhuma,
السلام عليكم يا أهل القبور يغفرالله لنا ولكم أنتم سلفنا ونحن بالأثر
“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni kubur. Semoga Allah
mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah para pendahulu kami, sedangkan
kami akan mengikuti jejak kalian”.
HR. At- Tirmidzi, kitab Al- Janaa-iz (59), bab Maa Yaquulur Rajulu idzaa Dakhal Maqaabira (III/ 369, No. 1053).
Atau dari
Riwayat ‘Aisyah Radhiallohu 'Anha,
السلام عليكم دار قوم مؤمنين – انتم لنا فرط – ونحن بكم لاحقون
اللهم لاتخرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم
“Kesejahteraan atas kalian wahai penghuni negeri kaum Mukminin,
bagi kami, kalian adalah para pendahulu, dan kami akan menyusul kalian.
Ya Allah, jangan halangi kami mendapatkan pahala (semisal) yang mereka
dapatkan, dan janganlah Engkau turunkan fitnah kepada kami sepeninggal
mereka”.
HR. Ibnu Majah dalam kitab Al- Janaa-iz (36), Bab
Maa Jaa-a Fiimaa Yuqaalu idzaa Dakhalal Maqaabira (I/ 493, No. 1546).
Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment